Baru-baru ini dunia persepakbolaan Indonesia kembali memunculkan kehebohan. Setelah usainya AFF Cup 2010, sebuah topik kembali muncul, yaitu bergulirnya sebuah liga baru yang digagas oleh Arifin Panigoro dengan nama Liga Primer Indonesia (LPI). Berita liga baru ini menjadi heboh karena bukan hanya bahwa Arifin Panigoro merupakan salah satu tokoh yang memberanikan diri untuk mencalonkan dirinya sebagai Ketua PSSI untuk menggantikan Nurdin Halid. Tetapi dengan berbagai berita yang berkaitan dengan kisruhnya dunia sepakbola di Indonesia.
Liga baru ini diklaim sebagai liga sepakbola yang benar-benar profesional dan semua klub yang ikut di dalamnya tidak didanai dari APBD. Kita tahu bahwa banyak klub Liga Super Indonesia (ISL) yang masih menyusu kepada pemda setempatnya, seakan-akan dunia akan berhenti berputar jika APBD tidak mendanai klub-klub ini. LPI sendiri memang didirikan karena adanya ketidakpuasan banyak pihak, yang akhirnya bergabung di dalamnya, terhadap organisasi dan kinerja PSSI. Organisasi sepakbola tertinggi di Indonesia itu sudah dianggap korup, berbau politis, tidak konsisten, tidak profesional, penuh suap, dan sebagainya.
Kehebohan pertama muncul dari pindahnya 3 klub ISL ke dalam LPI, mereka adalah Persema, Persibo, dan PSM. Tiga klub ini bersamaan mengundurkan diri dari ISL dan pindah berkompetisi di LPI. Mereka ingin menjadi klub yang benar-benar profesional, walaupun dari nama mereka berasal dari klub perserikatan. Selain itu mereka juga sudah merasa tidak betah berkompetisi di dalam ISL, bahkan Persibo merasa sering dicurangi oleh wasit sewaktu bertanding padahal mereka adalah klub yang baru saja promosi ke ISL dari Divisi Utama.
Berita membelotnya tiga klub ini menambah heboh dunia persepakbolaan nasional karena bintang baru di tim nasional Indonesia Irfan Bachdim dan salah seorang pemain dari program naturalisasi pertama Kim Kurniawan tergabung di dalam Persema. Kontan saja menjadi berita karena PSSI langsung mengancam semua pihak yang terkait di dalam LPI dengan hukuman seumur hidup tidak boleh aktif di dalam persepakbolaan termasuk para pemainnya, yang berarti tidak akan bisa memperkuat timnas Indonesia. Padahal Irfan dan Kim dianggap sebagai bintang masa depan timnas Indonesia.
Tidak berhenti sampai di situ, PSSI yang masih menganggap kehadiran LPI ini ilegal juga berusaha mengadukannya ke meja hijau dan juga ke FIFA. Tetapi pihak LPI tidak khawatir, karena mereka juga sudah didukung oleh beberapa pihak, dari BOPI sampai Menpora. Bahkan berita terakhir dikatakan bahwa PSSI telah diundang oleh FIFA untuk menjelaskan permasalahan LPI ini. Yang sebelumnya pihak PSSI mengatakan LPI adalah liga ilegal namun di dalam pernyataan kepada pers terakhir dikatakan bahwa liga ini hanya sebuah turnamen swasta yang tidak berada di bawah PSSI.
FIFA sendiri belum memutuskan apa-apa karena mereka masih menunggu keterangan dari PSSI dan LPI berharap mereka juga bisa menerangkannya kepada FIFA. Namun seorang petinggi FIFA, direktur asosiasi dan pengembangan Thierry Regenass berkomentar kalau LPI bisa dihukum. Regenass sendiri adalah pejabat FIFA yang menyetujui statuta PSSI yang melanggengkan Nurdin Halid sebagai Ketua Umum PSSI, padahal statuta tersebut masih dipertanyakan banyak pengamat sepakbola. Apakah Regenass salah satu orang yang "dekat" dengan PSSI?
Bagi insan sepakbola Indonesia sendiri kehadiran LPI sedikit banyak memberikan titik terang agar persepakbolaan Indonesia bisa lebih profesional dan pada akhirnya bisa meraih prestasi, tidak hanya di Asia Tenggara tetapi di Asia dan bahkan dunia. Sebuah liga yang profesional, jauh dari korupsi, klub yang mandiri, adalah cita-cita semua pecinta sepakbola Indonesia.
Namun LPI sendiri perlu berjuang lebih keras, karena sebuah breakaway league atau liga yang berdiri di luar dari liga yang resmi dari federasi sepakbola, akan sulit memberikan pendapatnya ke FIFA. Kasus breakaway league ini baru saja dialami oleh divisi kedua di AS, namun dengan latar belakang permasalahan yang berbeda dan kebijaksanaan dari federasi yang jauh lebih bijaksana daripada PSSI.
Sekedar informasi saja, kejadian tahun lalu di AS di level kedua sepakbolanya, terjadi saat USL, liga profesional yang berada di level kedua menjual kepemilikan sahamnya kepada investor baru, namun klub-klub anggota USL, terutama dari USL Divisi 1, dan mereka juga klub-klub yang mapan di USL tidak setuju. Mereka melepaskan diri dari USL dan membentuk NASL, yang namanya diilhami dari liga lama di AS. Klub-klub di dalam NASL dan USL berebut restu dari USSF (federasi sepakbola Amerika Serikat) untuk menjadi level kedua yang resmi. Keduanya tidak mendapatkan restu (sanctioned) dari USSF. Malah untuk kompetisi tahun 2010, USSF yang langsung menanganinya dengan nama USSF Division 2 Professional League, kedua liga, NASL & USL digabung untuk sementara, walaupun terbagi ke dalam grup (Conference) yang berbeda. Baru di tahun 2011 ini USSF akan mengeluarkan keputusan mana yang menjadi level kedua, dan tampaknya NASL akan mendapatkannya karena dari segi finansial dan klub yang lebih mapan lebih layak daripada sisa-sisa klub USL. USL sendiri akan menjadi level ketiga dengan menggabungkan sisa-sisa klub Divisi 1 merekan dan klub Divisi 2-nya, dengan nama liga yang baru; USL Pro.
Kejadian tersebut hanya pembanding saja, antara organisasi yang profesional dengan yang tidak yang ada di Indonesia. AS memang bukan negara sepakbola, tetapi perkembangan sepakbola di sana sudah jauh lebih pesat daripada di Indonesia, padahal liga profesional tertinggi di AS, MLS sendiri baru bergulir pada tahun 1996. Keberanian USSF untuk menjadi penengah diantara pihak yang berseteru demi persepakbolaan di negerinya patut dipelajari. Mereka tidak memihak kepada klub-klub yang kaya saja atau kepada liga yang sudah lama menjadi level kedua di sana.
Kembali lagi kepada permasalahan LPI. Sebuah liga akan menjadi resmi jika federasi sepakbola di negerinya memberikan restu dan FIFA secara otomatis akan mengakuinya pula. Masalahnya PSSI sampai hari ini masih gerah dengan kehadiran LPI, mereka masih merasa LPI adalah pesaing mereka, padahal sebenarnya LPI adalah pesaing ISL, sebagai sama-sama liga sepakbola di level pertama. Dari sini terlihat bahwa keterlibatan PSSI di dalam ISL masih sangat besar, walaupun ISL berdiri sebagai badan hukum sendiri. Di luar negeri, kebanyakan liga-liganya hanya dipayungi oleh federasinya karena anggotanya adalah klub-klub anggota federasi tersebut tetapi tidak ada campur tangan yang berlebihan terhadap badan liga itu sendiri.
Ancaman-ancama PSSI terhadap LPI seolah-olah juga memperlihatkan bahwa dari awal mereka sudah takut kalau ISL akan tidak laku. Padahal LPI belum bergulir dan klub-klub ISL yang membelot belom banyak. Walaupun beberapa klub LPI kalau bukan pembelot dari ISL atau Divisi Utama, adalah klub yang ada masih memiliki hubungan dengan beberapa klub ISL.
Untuk LPI memang tidak ada salahnya untuk tetap bergulir, namun tetap juga berusaha membangun komunikasi dengan otoritas sepakbola di Asia dan dunia; yaitu AFC dan FIFA. Selain itu menunjukkan komitmen yang kuat untuk menjadi profesional merupakan salah satu senjata untuk melawan ketidakkonsistenan dan ketidakprofesionalan yang ada di dalam sepakbola nasional. Paling tidak meyakinkan pecinta sepakbola Indonesia akan sebuah organisasi sepakbola yang profesional dan rapi. Pada akhirnya fans juga yang menentukan kesuksesan liga ini dan klub-klub yang berani untuk mandiri dan profesional pasti akan mencoba menyenangkan dan mengikuti fans-nya.
Dari kasus ini semakin kuat dugaan bahwa PSSI ketakutan akan kehilangan sapi perahannya, yaitu klub, liga, dan APBD. Selayaknya preman yang takut uang keamanannya berkurang dan hilang karena warga memutuskan untuk memperkerjakan satpam yang profesional dan jelas uangnya lari kemana.
oleh: Marcel Darmanto